EKSISTENSI dalam “SELFI”
Beberapa waktu lalu penulis mengantar seorang teman mencari gadget smartphone di salah satu outlet gadget di yogyakarta. Pertama yang dikatakan penjual smartphone tersebut adalah, ”Mbaknya suka selfi?”.
Di sini, penulis sedikit tergelitik dengan fenomena yang sedang booming ini. Selfi, sebuah kata yang belakangan ini menjadi marak dipakai di kalangan pengguna sosial media.”Selfi” merupakan istilah yang digunakan untuk mereka yang memotret dirinya sendiri dan mengunggahnya ke jejaring sosial seperti misalnya path, instagram, facebook, twitter atau media sosal lainnya.
Menurut penelitian, frekuensi penggunaan selfie mengalami peningkatan dibanding dengan 150 juta kata dalam bahasa inggris yang digunakan seluruh web setiap bulan. Tak hanya itu, penggunaan kata selfie telah meningkat hingga mencapai 17 ribu persen dalam kurun waktu setahun terakhir sejak 2013 yang lalu.
Hebatnya lagi, Oxford Dictionaries memberi gelar kepada selfie sebagai Word of The Year 2013. Penobatan Word of The Year ini diberikan oleh para ahli bahasa Inggris yang melihat fenomena selfie sebagai bentuk dari perubahan sosial, politik, dan teknologi. Mirip seperti definisi yang didapat dari pendapat pengguna sosial media yang lain, kamus oxford pun mendefinisikan kata selfie sebagai aktivitas seseorang yang memotret dirinya sendiri, kemudian mengumumkan dan mengunggahkan ke situs media sosial.
Fenomena Selfi (selfi potrait) berkaitan erat dengan citra yang dipersepsikan seseorang atas dirinya sendiri (selfi image). karena melalui selfi (self potrait), setiap orang ingin menampilkan sisi terbaiknya kepada orang lain.
Hasil dari penelitian dari Fritta Faulina Simatupang dalam jurnal JOM FISIP dari Universitas Riau mengatakan bahwa selfi bisa dimaknai sebagai kegiatan yang positif oleh penggunanya. Mereka menjadikan foto selfi (self potrait) yang di ungguh dalam media sosial seperti instagram, facebook, path, twitter dan media yang lainnya sebagai ruang untuk mengekspresikan diri, menyalurkan hobi dan sebagai sarana dokumentasi pribadi yang dapat dilihat kapanpun ketika mereka menginginkannya. Selain itu, foto selfi (self potrait) yang diungguh di media sosial dapat berfungsi sebagai pengisi waktu luang.
Motif merupakan sesuatu yang ada pada diri invidu yang menggerakkan atau membangkitkan sehingga individu itu berbuat sesuatu. Dalam melakukan suatu hal, seseorang tentu saja memiliki motif yang mendasari atau motif yang ingin dicapainya. Terdapat berbagai alasan yang mendorong terjadinya fenomena selfi ini. Berdasarkan pandangan Alfred Schutz seorang ali fenomenologi yang paling menonjol dalam ilmu sosial, ia menggolongkan motif ke dalam dua bagianyaitu in order to motive (motif untuk) yang berarti tujuan yang digambarkan sebagai maksud, rencana harapan atau bisa dikatakan motif masa depan. Dan because motive (motif karena) yang merujuk kepada pengalaman masa lalu atau bisa pula dikatakan sebagai kenangan untuk mempertahankan kehidupannya.
Ketika foto selfi (self potrait) ini diunggah ke media sosial adalah cara manusia untuk mencari pembuktian diri. Mereka ingin mendapatkan penilaian positif dari komentar atau tanggapan seperti tanda “like” dan dengan demikian harga diri mereka akan meningkat dengan banyaknya respon yang masuk. Sebaliknya harga diri mereka akan merosot jika tidak ada respon yang datang atau ada respon namun bersifat negativ.
Semua ini sejalan dengan hakikat manusia yang selalu berperilaku atau bertindak jika ia memiliki kebutuhan. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah pengakuan tentang suatu ”ada”nya oleh manusia lainnya. Eksistensi manusia untuk dianggap atas keberadaannya menjadi suatu kebutuhan dasar manusia itu sendiri tanpa disadari.
Senada dengan yang dikatakan oleh psikolog direktur Media Psychology Research Center, Dr Pamela Rutledge, bahwa keinginan memotret, memposting, dan mendapat “likes” dari situs jejaring sosial merupakan hal yang wajar pada setiap orang. Keinginan ini dipengaruhi rasa kita pada hubungan sosial antar sesama manusia. Hal ini sebetulnya sama dengan saat orang mengatakan betapa bagus baju yang kita kenakan, betapa cantiknya kita saat berpose, betapa terlihat tampannya kita dengan model rambut yang keren, betapa tingginya status kita dengan gadget keren dan tekhnologi canggih, dan pengakuan-pengakuan lain yang mengandung nilai lebih, harga tinggi serta status manusia di mata manusia lainnnya. Di sadari atau tidak, Secara biologis, pengakuan sosial merupakan kebutuhan mendasar pada manusia.
Zahro Ahmad*
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga